LARANTUKA - Hari-hari menjelang pemilihan legislatif (Pileg) semakin dekat. Berbagai persiapan menyongsong pesta rakyat tersebut sudah mulai terlihat. Di mana-mana orang sibuk dengan aktivitas partai.
Mulai dari pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), kunjung-mengunjungi pun dibuat para calon legislatif, entah caleg di daerah, provinsi maupun pusat.
Para caleg mendadak menjadi begitu ramah, atau ‘berpura-pura’ ramah dan mengumbar senyum pada siapa pun walau tidak dikenal. Terpampang foto-foto para caleg, entah laki-laki, perempuan, tua, dan muda dengan mode close up yang gampang dilihat pada sudut-sudut jalan raya, di depan rumah, pintu mobil, tiang-tiang listrik, ataupun pada pohon-pohon di pinggir jalan.
Para caleg tampak asri dengan visi dan misi yang bernuansa populis. Mereka kini sedang menantikan saat-saat yang mendebarkan itu (baca: pemilihan legislatif).
Di tengah hiruk-pikuk persiapan menyongsong pesta rakyat tersebut, ada satu hal yang menarik perhatian dan patut disoroti, yakni semakin ramainya partisipasi caleg dari kalangan perempuan yang bakal berpartisipasi di Pemilu legislatif 2024.
Hal ini menunjukkan bahwa minat perempuan untuk terlibat di dalam politik semakin besar. Bukan tanpa dasar! Secara konstitusional, negara menjamin persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara yang mencakup laki-laki dan perempuan, termasuk di dalam politik.
Poin ini secara jelas dijabarkan di dalam UUD 1945 Pasal 27 (1), di mana salah satu intisarinya menegaskan, semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam pemerintahan (baca: politik). Selain itu, ruang partisipasi perempuan di dalam politik pun semakin terbuka lebar dengan adanya berbagai konvensi dan deklarasi internasional berkaitan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di dalam dunia politik.
Meskipun begitu, praksisnya selama ini keterwakilan perempuan dalam peta perpolitikan nasional terbilang masih minim. Padahal, sejumlah regulasi mulai dari Undang-Undang (UU) tentang Pemilu, UU tentang Penyelenggara Pemilu hingga UU tentang Partai Politik dengan jelas memperhatikan keterwakilan perempuan harus sekurang-kurangnya mencapai 30 persen.
Berkaca dari hasil Pemilu 2019 – seperti dikatakan Lamlam Masropah dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam acara Sosialisasi Peraturan Pemilu 2024 – partisipasi pada tingkat pemilih perempuan bisa dikatakan memberikan kontribusi yang paling tinggi dengan datang ke tempat pemungutan suara sebanyak 80,8 juta orang.
Namun, hal ini sangat kontradiktif dengan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu seperti Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan calon legislatif (caleg) yang lolos ke DPR RI. Bahkan, keterwakilan perempuan yang lolos ke Senayan (DPR) baru 20,25 persen. Jadi, masih di bawah 30 persen.
Data empiris ini bisa jadi mengindikasikan bahwa wajah politik Indonesia masih diwarnai oleh budaya patriarki dan politik maskulin (male dominated). Aroma maskulin amat terasa di dunia politik Indonesia.
Pendekatan malestream (aliran laki-laki) sangat merasuk dunia politik Tanah Air. Ide-ide maskulin tentang apa dan siapa yang boleh memasuki dunia politik serta aturan-aturan apa dan yang bagaimana yang boleh ada, semuanya dibuat untuk kepentingan tertentu dan senantiasa menguntungkan laki-laki. Agresivitas maskulin di dunia politik demikian telah mengakibatkan sempitnya ruang gerak perempuan dan semakin terpojoknya perempuan dalam arena politik.
Agaknya, kategori modern dari individual pun telah dikonstruksi dalam sebuah postulat “publik-privat” yang turut memberikan konsekuensi yang sangat buruk bagi posisi perempuan dalam politik. Pembatasan ruang privat-publik perempuan memberi pengaruh pada hubungan perempuan untuk dapat berpartisipasi pada segala aktivitas yang terjadi di ruang publik.
Perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang membutuhkan waktu full time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak membuat mereka sulit untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang “sesungguhnya” di ranah publik. Dengan kata lain, faktor lain yang juga memengaruhi minimnya partisipasi perempuan dalam politik adalah masih kuatnya politik dinasti dan lekatnya budaya patriarki yang cenderung mendahulukan memilih laki-laki daripada perempuan.
Dalam esai Is Female to Male as Nature is to Culture, Sherry Ortner menunjukkan fakta bahwa perempuan di mana-mana diasosiasikan dengan nature daripada culture, di mana aktivitasnya lebih imanen, tidak dimediasi dan ditempelkan pada hal-hal lain.
Ortner menghubungkan perempuan dengan konteks domestik pada identifikasi mereka melalui keteraturan sosial dan budaya yang kurang. Padahal mesti dibedakan, bahwasanya menjadi warga negara tidak sama dengan menjadi seorang ibu. Ketika perempuan terangsang atau termotivasi untuk masuk dalam politik, peran mereka sebagai ibu harus tinggal dalam politik sebagai warga negara dan melakukan aktivitas dengan warga negara lain selayaknya warga negara, dan bukan sebagai ibu yang berelasi dengan anaknya.
Karena itu, sekalipun ketubuhan perempuan lebih dekat dengan nature, bukan berarti hal ini menampakkan kelemahan perempuan, melainkan karakteristik yang dimiliki perempuan yang seharusnya dihormati. Demikian pula laki-laki yang luas bergerak dalam ranah culture tidak berarti menunjukkan keunggulannya, karena baik culture maupun nature sama-sama memiliki kelebihan dan keunggulan yang berbeda-beda. Dalam realitas proses kehidupan, yang diperlukan adalah harmonisasi antara nature dan culture.
Selanjutnya, kebiasaan menyuburkan politik kekerabatan tanpa kaderisasi yang dilakukan parpol juga menjadi problem bagi keterwakilan perempuan. Bukan hanya itu, ada juga budaya politik yang buruk seperti praktik jual beli nomor urut dan “mahar politik” dengan memanfaatkan perempuan, semacam politik identitas berbalut “wajah kaum hawa”.
Alhasil, alih-alih terjun ke dunia politik agar dapat diberdayakan, perempuan malah “diperdayai”. Di sinilah partai politik pengusung memiliki andil dan peranan yang besar dalam meningkatkan dan mendorong partisipasi perempuan dalam dunia riil politik. Sekurang-kurangnya, parpol memiliki tanggung jawab dalam rekrutmen politik. Artinya, partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak perempuan-perempuan yang memiliki potensi untuk turut aktif menyampaikan aspirasinya dan merumuskan kebijakan yang berpihak kepada perempuan, tentunya di bawah payung kesetaraan.
Di lain sisi, peran partai politik untuk mendukung kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi strategis di parlemen perlu ditingkatkan, dengan membuka peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Partai politik juga dapat turut membantu mencerahkan masyarakat tentang arti penting partisipasi perempuan di bidang politik, sehingga kehadiran perempuan di dunia politik tidak tampak sekadar sebagai partisipan pasif atau dinilai sebagai “penggembira” pesta demokrasi semata.
Jadi, dukungan dari partai politik untuk rekrutmen calon anggota parlemen itu sangat penting. Pelatihan semestinya dilakukan sebelum perempuan dicalonkan, bukan sebaliknya. Ini penting agar perempuan siap dengan peran baru yang bakal diembannya.
Dari sejumlah kendala yang dihadapi para perempuan di dunia politik, ada beberapa hal yang harus dikuatkan oleh perempuan itu sendiri sebagai sebentuk upaya memberdayakan diri sendiri.
Bahwasanya, perempuan harus percaya diri, kuatkan dulu keinginan dari diri perempuan itu sendiri bahwa saya ingin sukses, saya ingin maju, terpilih. Yakinkan itu terlebih dahulu. Kuota keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik serta kesetaraan gender perempuan masih minim.
Seluruh pihak perlu bahu-membahu membuka ruang seluas-luasnya, bukan hanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat, namun juga memperoleh pengetahuan, memperluas pemahaman, dan meningkatkan keterampilan politiknya. Sehingga kelak ketika mereka duduk di kursi-kursi kekuasaan akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsif, inklusif dan humanis.
Untuk maksud itu, identitas dasar yang harus dimiliki dan disadari oleh perempuan adalah women as political being. Maksudnya, perempuan sebagai makhluk politik memiliki makna bahwa perempuan turut menempatkan keunikan mereka sebagai manusia dalam kapasitas untuk bernalar. Perempuan di sini berbicara sebagai perempuan dan berperan sebagai subjek bagi dirinya sendiri serta turut masuk dalam mutasi kultural sosial dan politik.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa political being bisa saja penuh dengan jebakan patriarki, namun ia tetap merupakan identitas alamiah yang dimiliki perempuan untuk dapat menjadi pendobrak dalam melawan dasar-dasar tatanan sosial dan kultural, karena perempuan mau tidak mau harus terlibat penuh dalam proses penciptaan politik. Politik sebagai sistem yang berkerja dengan mono seksual di mana laki-laki berbicara kepada laki-laki membuat identitas alamiah perempuan sebagai political being tidak tercapai.
Oleh karena itu diperlukan pembangunan kondisi subjektivitas perempuan sehingga perempuan dapat memperoleh identitas diri “aku” yang sesungguhnya, yang berasal dari wacana mereka sendiri, bukan dari turunan laki-laki.
Dalam prosesnya, perempuan akhirnya dapat merealisasikan bahwa mereka tidak hanya seorang ibu, namun perempuan yang menjadi bagian dalam politik dengan perempuan lain, baik perempuan yang telah menjadi ibu maupun perempuan yang bukan seorang ibu.
Dengan demikian, nilai yang harus dipertahankan seorang perempuan bukanlah nilai maternal (pertumbuhan dan pemeliharaan anak), namun nilai politik (kebebasan, persamaan, kekuasaan, komunitas). Itulah sebabnya Aristoteles mengatakan bahwa politik memiliki keutamaan dibandingkan dengan aktivitas maupun asosiasi. Hal ini memapah perempuan menuju kesadaran politik (politicize consciousness).
Akhir kata, representasi perempuan dalam politik di Indonesia melalui para politikus perempuan jelas merupakan suatu kemajuan. Akan tetapi, perlu diawasi bahwa representasi politik tidak harus diafirmasi melalui jumlah wakil dalam lembaga politik.
Salah satu fungsi partai politik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik termaktub gagasan: “Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”. Namun paradoks muncul ketika pasal ini dihubungkan dengan amanat Undang-Undang Pasal 65 Ayat (1) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menggarisbawahi: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Padahal, keterwakilan tidak harus dibangun berdasarkan jumlah wakil dalam lembaga politik, apapun jenis kelaminnya.
Apa yang ditegaskan oleh pasal terakhir di atas bisa jadi muncul sebagai suatu sikap skeptis terhadap potensi perempuan dalam politik.
Hal ini dapat saja terjadi bukan karena faktor yang datang dari diri perempuan itu sendiri, melainkan oleh faktor luar yang memengaruhi diri perempuan tersebut, misalnya faktor partai politik yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada laki-laki dalam aktivitas partainya. Bisa juga perempuan hanya digunakan oleh partai sebagai instrumen partai demi mencapai alasan semu. Perempuan di sini menjadi alat politik dan kaum minoritas yang inferior dan dibungkam.
Kini, kita tengah menanti pesta demokrasi lima tahunan yang sedianya akan digelar tahun depan (2024). Momen ini bisa dimanfaatkan oleh perempuan untuk menemukan identitas mereka dan mendaulatkan diri sebagai subjek politik.
Hal ini bisa terjadi jika ditopang oleh affirmative action yang mengandung potensi stimulus untuk merangsang perempuan masuk ke dalam wahana politik. Memasuki wilayah strategis politik bagi perempuan berarti melanggengkan kebijakan-kebijakan yang “ramah perempuan” dan perempuan sebaiknya dapat terlibat langsung dalam sistem pengaturan kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan yang “ramah perempuan” akan muncul dari suara-suara perempuan yang masuk dalam lembaga legislatif, pembuat kebijakan.
Bagaimanapun, perempuan di Indonesia harus menyadari perlunya pemberdayaan perempuan di arena politik dengan mulai lantang dan vokal menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, memunculkan isu-isu perempuan, dan melawan penindasan dan diskriminasi perempuan.
Perempuan harus keluar dari kotak jebakan politik untuk kepentingan sesaat dan harus segera melenggang menuju dunia politik yang berwawasan lebih luas dan integral, semata-mata demi pemberdayaan perempuan dan mengakomodasikan aspirasi perempuan.
Gaung suara perempuan di kancah politik selalu diharapkan, asalkan suara tersebut berasal dari hati nurani yang tidak tercemar oleh kepentingan pribadi dan golongan.***
Oleh : Dahlya Reda Ola, S.Pd
Anggota Bawaslu Kabupaten Flores Timur
Periode 2018-2023
Komentar0